KATEGORI

Kamis, 06 Februari 2014

AKU CINTA PADA-MU (2)

Inilah hidupku: Sunyi
Senyap langit
    Senyap bumi

Jakarta dini hari sehabis idul fitri:
Semesta yang mengheningkan cipta

Adakah berbuah
Bila kutanam di lubuk hati-mu

Ciumanku ingin bangkit
    Membakar kecantikan-mu
Supaya waktu tidak cepat berlalu

Di sini tidak ada musim gugur
Tapi daun-daun selalu luruh
Kemurungan sigap datang
Lalu kembali seperti biasa
Kita sibuk dan lupa


Jakarta, 2000 – 2004

AKU CINTA PADA-MU (1)

Bagi-mu yang menyimpan hamparan laut
Sebuah perahu akan berlabuh
Mengantarkan salam dan kasihku
Sebatang sungai akan mengalirkan
Kerinduan dan peluk-ciumku

Bagi-mu yang terlunta-lunta di belantara kota
Yang didera kelaparan di tengah pesta pora
Yang dihardik kesepian di tengah keramaian
Bertandanglah ke ruang batinku
Akan kuhibur kau dengan selarik puisi:
Aku cinta kepada-mu!





Bandung, 2005 - 2011

ONE DIRECTION

Kepada Meirliane

Aku pernah bertutur, akan mengukir puisi di hati-mu
Dengan pena selunak guguran salju, bertinta putih abadi
Dan angin menerbangkan angan ke langit terburit
Di kedalaman sukma. Kelam, tinggal kita berdua mencipta buana
Tetapi nuansa cinta-mu masih selalu samar kuraih
Akhirnya kukeluhkan pada langit yang terasa sempit:
Kekasih, aku telah pasrah dan tidak akan mengingat-mu lagi

Tutur yang keliru muncul dari gebalau yang dungu
Menolak-belakangi rasa terdalam di hati yang paling pagi

Dari kekeliruan bersahaja itu, justru kutemukan
Berkah tesembunyi, jadi ilham yang bekelebatan
Dan kurekam sebagai gurindam. Inilah puisi terjanji itu
Kurajut khusus untuk-mu dengan semangat bangun sepagi mungkin
Supaya kau makin yakin, aku selalu siaga menghadap Sang Maha
Meletakkan dahi pada hamparan bumi yang penyabar
Sebelum subuh luruh oleh cericit unggas

Lalu aku melangkah, mengeja tanah. Membaca jejak udara
Dan merangkum gelagat musim. Di sini aku berdiri
Di antara bukit gelisah dan danau resah. Kubersuci
Bersujud pada titik perih. Kukiblatkan seluruh sadarku
Kepada-mu yang selalu gaib. Udara, air, tanah, cahaya
Meyakinkanku untuk selalu merindu kepada-mu. Rasa-rasanya
Aku juga pasti berhasil mendirikan kerajaan yang kubayangkan
Dengan mendaur ulang mimpi-mimpi basi. Mimpi-mimpiku kekasih
Masih seperti yang silam juga. Tercipta dari benang-benang
Cinta yang berakhir bahagia

Sebuah kapal layar kurancang dalam impian
Gerombolan angin kupimpin. Petir dan guntur
Berada dalam kendaliku. Udara, air, tanah, dan cahaya
Mendukung penuh-seluruh keyakinanku. Kapal kerajaan siap
Membelah keleluasaan samudra tak terjangkau. Dan aku
Mendudukkan-mu sebagai satu-satunya permaisuri
Indah nian andai-andai ini, bukan? Kau adalah Malahayati
Yang berdaulat di sepanjang selat, dan aku Ceng Ho yang siap
Bersujud menghaturkan sembah bakti. Kaulah Laksamana Tertinggi
Dalam bahari impianku, sedang aku menjadi prajurit paling liat
Di bawah matahari yang sama, tak ada yang tak mungkin

Meirliane, panglimaku yang bermata nyaris sendu
Berkerudung angin musim salju, bersuara sesyahdu desau cemara
Namun bertutur-kata dengan puisi-puisi pemberontakan
Bacakanlah satu ayat kepadaku, berisikan titah menghajar
Para penyamun yang telah menyatroni bandar-bandar pemerintahan
Aku siaga jadi sugyosa di belantara ronin dan rompak
Aku akan mengaum di tengah kepungan srigala, dan aku pasti
Melindungi-mu sebagai satu-satunya sumber puisi prismatis ini
Kelak anak-anak yang rindu pada dirinya sendiri
Akan membacanya dengan ketakjuban yang menyala-nyala



Bandung, 2014

SALAT DUHUR

Jangan hapus nama George Bush dari peta
Kenangan.
Cacing yang runcing
Melata, meronta-ronta, berhidung bengkok
Sekedar mengisi pikiran, bunuh waktu-mu
Dalam sujud merah Kremlin

Pematang sawah yang lagi-lagi berkelabatan
Suara sayup-sayup menyusup pada pokok pangkal
Bersama seember air yang tumpah di puncak
Kemarau
Sejudul tembang meliuk-liuk, menggelitik
Telapak sukma, dan air mataku jatuh
Seperti baghdad yang runtuh
Ambruk dalam ambisi, dalam nestapa jagad

Ini jiwa tak bukan sajak yang meronta-ronta
Minta pembaca, mohon ruang dalam koran
Cermin yang mendayu-dayu muram dalam asap uap
Tuhan Maha Besar, hanya Tuhan yang Maha Besar
Matahari akan berbalik arah
Dan bintang berletusan laksana kembang api
Itu kala, itu kala
Tak sanggup lagi waktu beri sempat
Tak guna sujud berabad-abad



Jakarta - Bandung, 2014

Rabu, 22 Januari 2014

Celurit

Sesuatu di kurun yang jauh
Bisa mungkin. Bersandar juga
Melingkar pada leher-mu
Di luar kuda menari-nari dalam hujan
Gerimis meruncing sendiri

Ada noda berbentuk bercak
Bersulam biru dongker
Hati-hatilah pada janji
Maut mengintai di sebalik

Berkelebat mengejutkan
Mata bisu sekerjapan
Mulut buta dikhianati kata

Adakah indah bila kulesapkan
Di biru jantung-mu

Spontan, seperti juga cinta kita
Mengundang berdanau-danau darah


Jakarta, 2014

Recuerdos de La Alhambra

Kepada Sheni Desinta


Senja luruh mengiringi kesendirianku. Hujan tak henti menggebu
Sudah sejak subuh tadi. Sisa ini hari, terasa lebih temaram
Dari kemurungan yang mengepung ruang batin siapapun
Langit tak nampak batang hidungnya. Tak dapat kuterka
Malam akan tersaji seperti apa. Kuharap tidak akan bangkit
Lagi para pengacau di Republik ini, semisal si oportunis (1)
Yang mengajari para penyair beronani.(2) Ada kudengar orang-orang
Mulai belingsatan, dipukul banjir bandang yang menderu
Mereka mengungsi ke kuburan. Sheni, bacalah suasana batinku
Yang terentang sepanjang petang, dan gubahlah menjadi
Sebuah tembang tentang kidung orang-orang yang terasing. Nyaliku,
Bisa jadi asing bagi-mu, namun kau serasa mengenalnya, bukan?
Mainkan kembali dawai gitar-mu, seperti dulu lagi, ketika kau
Mengikuti les musik, sampai sirna jelaga, dan teranglah buana
Buana yang menari-nari di kedalaman sumur sukmaku: tempat kita
Pernah menimba mimpi dan mereguk sunyi

Senja ini, kau kelewat manis untuk kuabaikan
Bergalon-galon madu, berkarung-karung gula
Tak akan sanggup menyandingi kemolekan yang memancar
Dari keseluruhan-mu. Aku selalu mabuk setiap ingin mereguk bibir-mu
Aku kepayang mencerna tatapan dalam yang menikam
Ajakan-mu pada sesuatu yang menggairahkan, semisal main kuda-kudaan
Yang disampaikan melalui ekor mata-mu seperti pada iklan kontrasepsi
Juga ditegaskan dengan sungging simpul bibir-mu, selalu membuatku
Ingin segera mendirikan salat tahajud. Karena kini aku ingin merdeka
Dari segala dusta, bertaubat dari kepura-puraan

Ekor mata-mu begitu trengginas menari-nari seperti perompak di selat
Mayoritas leluhur orang Plimbang adalah perompak keturunan Jengis Khan
Dan sebagai orang Plimbang, kau telah sempurna menjadi perampok:
Berhasil melucuti keseluruhanku!
Aku terkesima berkali-kali. Sampai kurasakan kota yang kuhuni
Mungkin juga kota yang kau tinggali, telah jatuh ke tangan penyamun
Dan pencoleng dari Sodom dan Gomorah (3) yang dijungkirbalikkan
Dalam urusan asmara, memang seringkali akal waras berjumpalitan
Aku berkali-kali melakukannya, sampai jidatku berbentuk segi empat
Meski demikian, cinta kita akan terus bergemuruh tanpa
Mengenal ruang dan waktu, padahal telah berkali-kali orang-orang tamat
Menembangkan lagu kematian untuk mengenang kota yang luluh-lantak

Sheni, rintihan yang melengking pada tembang Recuerdos de La Alhambra (4)
Menguar lagi dari tiap helai dawai tubuh-mu, dan sangat pasti,
Kuhayati sebagai lonceng kematian bagi orang-orang pongah, yang telah
Menyusun buku 33 para pendusta paling pembohong di muka bumi (5)
Aku yakin, orang-orang pongah akan segera kadaluarsa seperti
Minuman kemasan di pasar swalayan. Akan ditertawakan sebagai
Para pelawak yang salah pilih panggung. Mati, seperti kota yang tidak
Layak untuk disinggahi. Kini hanya ada satu pendusta yang tidak
Suka berbohong, yaitu Nabi Palsu, yang tiada lain adalah penampakkan
Dari perasaanku yang selalu berpikir. Bukankah aku selalu merasa
Dengan pikiran, dan berpikir dengan perasaan? Rasa-rasanya, setelah
Kupikir-pikir, hanya kau yang pantas menjadi Tugu Monas di pusat kota

Petang ini senja kembali luruh, seperti sering terjadi pada zaman
Nabi Nuh. Bila malam tiba, aku takut rasa kesepianku mengamuk,
Filsafat Pemberontakanku mencakar-cakar jiwa. Maka dari kedalaman hujan
Datanglah kau padaku seraya membawa gitar kesayangan-mu, dengan
Langkah paling bersahaja, senyum mengembang dan pipi mayar-mayar
Laksana lapisan cingcau, rambut mayang terurai, mata seteduh telaga
Sedang tubuh-mu telanjang sebugil purnama. Aku menunggu-mu sambil
Becengkrama dengan sunyi, bersetubuh dengan waktu. Betapa menggebu
Ingin kulakukan segala-galanya bersama-mu, Desinta.


Jakarta, 2014

(1): Konsultan politik bernama DJA.
(2): Tim-8 khusnya AG yang membabi buta.
(3): Kota pada zaman Nabi Luth yang dijungkirbalikkan Tuhan karena kedegilan penduduknya.
(4): Sebuah requiem untuk mengenang kota Alhmbra yang luluh lantak akibat peperangan.
(5): Buku 33 tokoh sastra indonesia paling berpengaruh, susunan tim-8, menuai kritik dan antipati di banyak tempat gara-gara konsultan politik DJA sebagai inisiator, ikut dinisbatkan sebagai tokoh sastra. Tokoh paling berpengaruh pula. Seseorang disebut tokoh sastra bukan karena karyanya memperoleh pengaruh karena mengeluarkan dana yang cukup besar, tapi juga dihargai dari proses pergulatannya dan integritasnya.